Identitas Buku:
Judul: Islam, Otoritarianisme, dan
Ketertinggalan
Penulis: Ahmet T. Kuru
Penerbit: KPG
Tahun Terbit: 2021 (Edisi Terjemahan)
Jumlah Halaman: 464
Dalam risalah monumental bertajuk Islam,
Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, Ahmet T. Kuru membunyikan alarm atas satu
soal genting yang mencuat dari rongga sejarah peradaban: mengapa Islam, yang
pada satu kurun waktu menjadi obor kemajuan ilmu pengetahuan, justru kini
terjerembap dalam kemelut stagnasi politik, ekonomi, dan inovasi?
Pertanyaan tersebut, tentu saja, bukan
barang baru. Ia telah berkitar-kitar dalam diskursus para ilmuwan, filsuf, dan
pemerhati dunia Islam dari pelbagai zaman. Sebagian menuding Islam sebagai
biang keladi, dengan tuduhan bahwa ajarannya mengandung benih-benih
anti-rasionalitas dan menumpulkan daya cipta. Sebaliknya, tak sedikit yang
menyodorkan kolonialisme sebagai kambing hitam utama, lantaran sejarah mencatat
penjajahan Barat membungkus umat Muslim dalam cengkeraman eksploitatif yang
akut dan berbuntut panjang.
Namun, Kuru dengan brilian memainkan peran
sebagai peneliti yang tak larut dalam dikotomi itu. Ia menolak siasat
simplifikasi, sembari menyoroti struktur sosial-politik internal yang—dengan
sedemikian rupa—menggeser dunia Islam dari singgasana keilmuan. Dalam
teropongnya, perubahan paling menentukan terjadi kala kelas ulama mulai
bersekutu dengan negara, dan pada gilirannya mendongkel para intelektual
independen dari lanskap wacana publik.
Sepatutnya kita menyimak kilas balik
kejayaan Islam pada abad ke-8 hingga ke-12, di mana semangat ilmiah merekah bak
tembang rakyat yang membasahi tanah gersang. Di masa itu, para ilmuwan Muslim
bukan sekadar ulama dalam makna konvensional, tetapi pionir multidisiplin yang
menghidupi tradisi berpikir lintas batas. Al-Khwarizmi, misalnya, tak hanya
menyemai aljabar tetapi juga membangun fondasi sistem angka Hindu-Arab yang
kemudian diboyong ke Eropa. Ibnu Sina menulis Al-Qanun fi al-Tibb, ensiklopedia
kedokteran yang tersohor dan dikaji selama berabad-abad oleh kampus-kampus
Barat. Al-Farabi menguraikan filsafat Aristotelian dengan kecakapan yang tak
bisa diremehkan, menjembatani dialog Timur dan Barat dalam koridor nalar.
Dengan kata lain, semangat ilmiah Islam
tidak pernah mengenal batas geografis maupun dogma sempit. Ibnu al-Haytham
bereksperimen dalam optik dan membangun kerangka struktur narasi ilmiah yang
mendahului zaman. Sementara itu, Jabir Ibn Hayyan menggagas metode
eksperimentasi yang menjadi cikal bakal laboratorium modern. Tradisi semacam
ini menunjukkan bahwa, dalam satu kurun waktu, dunia Islam bukan hanya menyerap
ilmu, tetapi juga menyumbangkannya dalam kadar yang menggenapkan sejarah umat
manusia. Kota-kota seperti Baghdad, Kairo, dan Kordoba menjelma menjadi
mercusuar ilmu, dengan perpustakaan-perpustakaan raksasa, debat-debat publik,
dan iklim intelektual yang subur tanpa sekat fanatisme.
Namun, enteng bagi sejarah untuk membalik
haluan. Jika pada mulanya para ilmuwan Islam diberi ruang leluasa untuk menulis
risalah, mengkritik otoritas, dan menoleransi keberagaman tafsir, maka sejak
abad ke-11, peta keilmuan digerogoti oleh aliansi negara dan ulama. Celakanya,
keberpihakan Al-Ghazali pada doktrin ortodoks dalam Tahafut al-Falasifah sering
kali ditafsirkan sebagai tempeleng terhadap filsafat dan akal sehat. Keberanian
untuk menyerap ilmu dari luar dianggap sebagai laku kufur, dan pada titik ini,
diskursus mulai luntur. Penguasa memelihara stabilitas melalui kendali
dogmatis, dan para ilmuwan—alih-alih menjadi motor peradaban—ditundukkan dalam
barisan loyalis ideologis.
Sementara itu, di Eropa, masyarakat
mengalami rembulan kebangkitan: Renaisans dan Revolusi Ilmiah. Kebebasan
akademik menyuburkan kanal-kanal kreativitas yang tak dibatasi otoritas
keagamaan. Konfrontasi antara Gereja dan ilmu pengetahuan justru melahirkan
semangat pembebasan. Dunia Islam, sebaliknya, terkepung oleh sistem yang
menumpulkan pemikiran, membendung air mata perubahan, dan menjungkirbalikkan
nalar. Kebudayaan kritik perlahan sirna. Manuskrip-manuskrip filsafat dibakar,
sementara madrasah yang dulu menjadi laboratorium berpikir, perlahan menjelma
menjadi kubu ortodoksi yang anti-debat.
Kuru menyampaikan bahwa aliansi ulama-negara yang lapuk ini tak hanya bersifat historis, tetapi juga masih hidup dan menyumbat pori-pori kemajuan dunia Muslim masa kini. Otoritarianisme merambah hampir seluruh penjuru dunia Islam. Akademisi yang terpanggil untuk mengusung pembaruan justru kerap dihantui oleh sensor, kriminalisasi, bahkan penghilangan paksa. Kultur ketakutan dan birokratisasi ilmu pengetahuan membuat universitas tak ubahnya ladang formalitas, bukan ruang penggali makna.
Tak heran bila universitas-universitas
Muslim dewasa ini sukar bersaing dalam ranah riset mutakhir. Kebebasan akademik
masih menjadi kemewahan yang nyaris tak terjangkau. Sementara negara-negara
seperti Arab Saudi dan Iran terus menoleransi kolusi antara agama dan
kekuasaan, suara-suara kritis dibungkam atau dibungkus dengan retorika
pengkhianatan. Wacana keilmuan dikomodifikasi menjadi alat legitimasi
kekuasaan, bukan cermin pencarian kebenaran.
Mencermati situasi ini, Kuru hendak
menyampaikan bahwa solusi tak bisa hanya mengandalkan reinterpretasi teks
agama, melainkan perlu transformasi struktural yang mengoyak hati dan
menerjemahkan rasa kemanusiaan. Dunia Islam perlu menuntaskan keterbelakangan
dengan merogoh kembali akar tradisi ilmiahnya yang berbasis kebebasan berpikir,
logika rasional, dan kemerdekaan akademik. Peradaban tak bisa dibangun di atas
larangan-larangan membaca dan mencurigai kecerdasan sebagai ancaman.
Sebagaimana kejayaan Islam dahulu lahir
dari iklim yang memungkinkan pertumbuhan pengetahuan tanpa tempurung doktrinal,
maka hanya dengan jalan itulah kebangkitan bisa digapai kembali. Boleh jadi,
masa depan dunia Islam bergantung pada keberanian untuk mengembosi
otoritarianisme, mengais reruntuhan akal sehat, dan menghidupkan kembali
semangat keilmuan yang pernah mewangi dalam sejarahnya. Sudah saatnya dunia
Muslim menulis kembali sejarahnya dengan tinta intelektual, bukan dengan darah
penghambaan.
Buku ini bukan sekadar karya akademik,
tetapi sebuah obor yang membakar kesadaran. Ia menyeruput realitas dunia Muslim
hari ini, menyuguhkan diagnosis tajam atas penyakit struktural yang akut, dan
merintis jalan pemulihan. Dengan gaya bertutur yang tajam dan argumen yang
mengakar, Kuru menulis tidak untuk menyenangkan pihak manapun, tetapi untuk
menantang umat Muslim agar berpikir ulang: maukah kita membiarkan sejarah hanya
menjadi puing-puing kejayaan yang lapuk? Atau, beranikah kita merawat kembali
bara pengetahuan yang pernah menjadikan Islam sebagai lentera dunia?
0 Komentar