Kisah Pilu Perkawanan Bocah Pribumi dengan Bocah Belanda


Ilustrasi dari Crengepart
Oleh Muhammad Baharuddin Romadhoni

Judul Buku : Oeroeg

Penagarang : Hella S. Haasse

Penerbit : Gramedia pustaka Utama

Cetakan : Pertama, 2009

Jumlah Halaman : 144 hlm

ISBN : 978-979-22-4986-6

Apakah sudah terlambat? Apakah aku selamanya akan menjadi orang asing di tanah kelahiranku, di bumi yang tak pernah kutinggalkan? Waktu yang akan menjawabnya.

Cuplikaan di atas adalah salah satu ‘quote’ yang aku jumpai dalam buku berjudul ‘Oeroeg’ dan barangkali merupakan suara hati penulis novel asal Belanda itu sendiri- yang sempat bersinggah di Indonesia pada zaman kolonial dan dituntut pulang ke negeri asalnya, karena secara kelahiran dan tumbuh memang ia diasuh oleh bumi Indonesia, tetapi secara keturunan ia adalah murni keturunan Belanda, sebab pada masa itu terjadi Agresi militer. Sebagaimana kala itu masa transisi pasca kemerdekaan yang turut digunjang-ganjingkan (masa labil) oleh tentara Jepang. Aku mendapati bahwasanya novel ini menyungsung Autobioghrafi yang ia rasakan dan pengamatannya terhadap kondisi orang-orang yang dijumpai kala itu.

 Oeroeg dibaca “urug” merupakan novel Roman pertama Hella S. Haasse yang terbit pada tahun 1948 di Amsterdam, Belanda.  Diterjemahkan untuk pertama kali ke dalam bahasa Indonesia oleh indira Ismail setelah 60 tahun lebih sejak penulisannya, hingga pada akhirnya pada tahun 2009 Gramedia Pustaka Utama memutuskan untuk menerbitkan novel tersebut. Hella S. Haasse Merupakan penulis essai sekaligus sastrawati ulung asal Belanda, yang sempat singgah dan tumbuh di indonesia (kala itu masih bernamakan hindia belanda), ia digadang-gadang salah satu dari sekian banyak sastrawati yang merupakan ‘sosok’  besar di Belanda dan memperoleh berbagai penghargaan dalam negeri maupun luar negeri.Hella adalah sosok penulis novel sejarah yang mahir menceritakan kehidupan pribumi era kolonialisme dengan gaya penceritaan yang berbeda dari sekian banyak Novel sejarah yang aku temukan. Muatan novel-novel yang dibikin Hella sangat unik karena mengambil sisi lain dari penjajahan waktu silam. Ketika terbit tahun 1948, Novel Oeoroeg ini menyita perhatian para pembacanya di Belanda. Tetapi, di Indonesia sendiri novel ini menuai berbagai kecaman dan kritik pedas. Misalnya coretan yang dimuat dalam majalah budaya Orientati menyulut cuitan terhadap Hella dikarenakan penggambaran Hella perihal permainan masa lalu dan persahabatan  antara anak seorang Belanda dan Inlander (pribumi) tidak mungkin terjadi di dunia nyata kala itu. Menanggapi cuitan tersebut, Hella berdalih novel Oeroeg merupakan responnya terhadap Agresi Militer (Aksi Polisionil dalam historiografi Belanda) yang terjadi sekitar tahun 1947, sehingga ia berinisiatif menulis kemudian mengemas peristiwa tersebut menjadi balutan novel. Oleh karenanya, Hella merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang tergabung atau mewakili kumpulan masyarakat yang pernah merasakan hidup di masa silam sebagai dan pernah memumpuk, merajut, merangkai kenangan yang indah sebagai orang Indonesia (ya, karena beliau lahir dan tumbuh dan merasa itu rumah singgahnya) dan beliau seakan tak ingin dipulangkan ke negeri asal orang tuanya. Istilah orang yang tak mau pulang ke negeri asalnya (disini Belanda) atau dikenal dengan sebutan kelompok Blijver. Nama Oeroeg sendiri bukan diambil dari nama penanya melainkan sebuah kata yang tak lazim dipergunakan untuk menggambarkan tanah longsor, secara kiasan, tanah longsor berarti perubahan tak berdasarkan yang menimbun dan memusnahkan semua yang sebelumnya ada. Dan secara konteks Oeroeg memiliki arti perpisahan dengan tanah kelahirannya si penulis.


Penampakan Buku Oeroeg


Novel Oeroeg berkisah tentang persahabatan antara bocah belanda tak bernama, sebut saja ‘Aku’ yang menjalin hubungan erat dengan bocah Inlander (sebutan untuk pribumi). Dengan mengambil set paronama di daerah Priagan yang dikenal dengan kebun tehnya yang amat luas. Tokoh ‘aku’ merupakan putra tunggal seorang seorang adminitrateur (semacam pengurus perkebunan pada masa Hindia Belanda) perkebunan teh di wilayah Priayan, sedangkan Oeroeg merupakan putra sulung seorang mandor perkebunan tersebut. Usia merekapun tak terpaut jauh hanya beberapa minggu, keduanya juga sama-sama juga di lahirkan di perkebunan Kebon jati (hal 6-7). Oleh karenanya, keduanya, dikisahkan bersahabat sejak kanak-kanak. Bermain mencari jejak di hutan belantara, mengerjakan pekerjaan rumah, menekuni koleksi prangko dan buku-buku terlarang, semuanya dilakukan keduanya bersama-sama.

 Tak seperti novel yang berfokus pada  orang dewasa kebanyakan yang jamak kita temui, Novel ini berbekal rajutan pengalaman masa kecil antara tokoh Oeroeg dan ‘aku’ yang dengan keluguan, kepolosan, dan tingkah anak-anak yang tak mengeti perbedaan antar mereka berdua. Barangkali mereka belum tahu hal yang sesungguhnya terjadi di antara negara mereka yaitu pertiakain besar-besaran melanda dua negerinya masing-masing. Meski dihadang oleh banyak perbedaan warna kulit, rambut, bentuk fisik, maupun ras tak membikin mereka berdua berhenti bersahabat. Mereka berdua sering bermain bersama seperti mengunjungi sungai kemudian memancing, bermain dengan gundukan batu, tak luput memburu capung-capung,  menjaili kepiting merah muda, serta membeli sepotong es loli. Persahabatan mereka ditentang oleh ayah si ‘aku’ karena perbedaan kasta dan latar belakang yang mereka punyai masing-masing, di sini si ‘aku’ tak mengetahui perbedaan yang mencolok antara mereka, ya namanya anak-anak Cuma ingin bermain, tak mungkin memikirkan apa yang sebenarnya terjadi di antara kedua anak beda negara tersebut yang sedang perang satu sama lain, cerita ini tersaji karena diambil dari sudut pandang anak-anak yang secara psikis belum mengenali dunia pertikaian apalagi tahu menahu perang besar.

  Sayangnya, kejadian naas terjadi pada Deppoh (ayah Oeroeg) setelah berusaha menyelamatkan si ‘aku’ dari jeratan tanaman air yang ada di telaga Hideung, ia dinyatakan meninggal dunia. Sejak kejadian itu membikin hati Oeroeg dan keluarganya hancur lebur. Kematian Ayah Oeroeg inilah yang pada gilirannya mengantarkan Oeroeg disekolahkan oleh Ayah Si aku hingga ke tingkat MULO (bagian sistem pendidikan kolonial yang setara dengan sekolah menengah pertama) karena mungkin ayah ‘Aku’ menaruh rasa bersalah akan kematian ayah Oeroeg yang menyelamatkan anaknya jatuh di telaga Hideung.  Orang tua si ‘Aku’ kurang begitu dekat dengan anaknya sehingga hari-hari si ‘Aku’ diisi dengan bermain, bersuka ria dengan Oeroeg, sehingga terbentuklah persahabatan antar mereka berdua.  Tidak bisa kubayangkan seberapa sepi masa kanak-kanakku bila Oeroeg tak ada. Biarpun ayahku administrateur perkebunan dan Oeroeg hanya anak mandor, kami selalu bermain bersama (hal 68). Dengan kata lain, hanya dengan Oeroeg ia dapat bermain dan merasa mempunyai semacam hiburan untuk mengisi kekosongan masa kecilnya, baginya Oeroeg satu-satunya ‘Besti’nya kala itu. Bahkan bahasa sundalah yang lebih ‘nyantol’ dan dekat bagi si ‘Aku’ daripada bahasa belanda itu sendiri. Persahabatan mereka menelan cemohan banyak orang karena perbedaan strata sosial satu sama lain, yang terkadang deskriminisasi berlebihan hanaya dialamatkan ke Oeroeg. Tetapi cemohoan tersebut tidak membikin mereka semakin menjau malah semakin dekat. Di sekolah Oeroeg dikenal karena kemahirannya dalam menulis dan ke pandaianya dalam menguasahi mata pelajaran, ia dikenal juga memiliki badan yang kuat melebihi si ‘Aku’. Mereka memiliki cita-cita yang sama yaitu menginginkan menjadi seorang penjelajah, itu kesepakatan mereka waktu kecil, meski ada tekad lain dari Oeroeg yang berkeinginan menjadi Pilot Atau Masinis.

Singkat cerita, Oeroeg ketika sudah beranjak dewasa, sadar akan perbedaan yang mecolok diantara mereka berdua. Ia lalu memutuskan untuk memasukkan si aku menjadi daftar hitam disebabkan tokoh si aku masih menjadi bagian dari Belanda. Ia diketahui menjadi bagian dari pemuda revosiuner yang memperjuangkan kemerdekaan indonesia dan menolak berhubungan dan kerja sama dengan orang Belanda, meskipun dia sahabatnya sendiri.  Hubungan mereka terputus dan mereka berpisah agak lama disebakan  si aku memilih untuk melanjutkan studynya di Eropa hingga sampai tiba waktunya, si aku memutuskan untuk kembali ke indonesia untuk mengunjungi sahabat masa kecilnya. Diketahui si aku ia kini telah dipekerjakan menjadi bagian dari proyek perbaikan jembatan, di mana jembatan tersebut di rusak oleh sekumpulan pejuang republik. Sebuah tugas membawa si aku ke tempat di mana ia pernah merajut masa kecilnya bersama Oeroeg. Akankah ia bertemu dan diterima Oeroeg menjadi sahabatnya kembali?. Selengkapnya novel tipis ini bisa kalian baca sendiri.

Secara keseluruhan Novel ini apik dibaca oleh teman-teman yang ingin merasakan sensasi masa lalu yang tergambar masa-masa kolonialisme, permainan masa kecil. Untuk penggambaran tokoh Oeroeg dicurigai banyak orang dikarenakan dalam novel ini Oeroeg menjadi sosok yang mengecam temannya sendiri, brutal, dan kasar terhadap temannya sendiri, tetapi aku mencari sisi baiknya, kemungkinan besar Hella selaku pembikin novel hanya sekadar memberi tahu bahwasanya kondisi yang terjadi kala itu sangat menenggangkan bagi para orang Belanda yang telah lahir dan tumbuh di indonesia yang enggan dipulangkan ke Belanda. Novel ini dibikin sebagian besar berdasarkan pengalaman masa kecil dan masa remajanya yang sempat singgah di Indonesia, maka tak mengherankan jika Hella menggambarkan secara detail keindahan alam di Priangan, kehidupan prbumi dan belanda, dan kondisi politik kala itu yang masih labil karena puncak Agresi Militer Belanda II yang sebagian masyarakat indonesia menolak kedatangan belanda kembali ke indonesia. Cara bertutur Hella sangat memikat hati para pembaca karena pembaca seakan-akan diajak menyelami situasi indonesia kala itu.. Perlu diketahui juga Novel ini sudah diangkat kelayar lebar pada tahun 1993 dengan judul yang sama, tetapi menurutku kesan yang jauh lebih apik tetap ada dalam balutan novel daripada dalam film layar kaca. Aku juga turut berterima kasih kepada penerjemah novel ini yaitu Indira Ismail karena beliau dalam menerjemahkan sangat bagus, luwes, dan mudah dipahami, tentunya kalian tidak usah takut dengan terjemahannya. So, menurutku novel tipis ini cocok untuk dibaca oleh semua kalangan yang berkeinginan menjelajahi masa lalu indonesia dan ingin tahu menyoal sisi lain dari sejarah indonesia yang beragam tafsirannya.[]



Tentang Peresensi
Penyedia buku untuk dipinjamkan
pemerhati literasi sekaligus pecinta buku anak
maupun buku-buku
yang menumbuhkan empati


 

Posting Komentar

0 Komentar