Dongeng Masa Kecil, Teka-teki Silang, dan Majalah Lungsuran

Ilustrasi dari Crengep art
 oleh Zakiyatur Rosidah

Aku tak punya keberanian mendaku diri sebagai orang yang doyan membaca. Sebagaimana aku yang sebelumnya: aku tak pernah mau dan tak berani menjahit potongan cerita riwayat perkenalan dengan buku yang sebetulnya cekak dan tidak menarik. Namun, kata orang, selamanya keberanian itu tak akan pernah muncul jika tak dicoba. Oleh sebab itu, aku akan mencoba memulainya lewat tulisan ini.

Aku tak ingat betul kapan aku mulai mengenal buku—atau lebih tepatnya mengenal bacaan. Namun, jika kawan-kawan bertanya, dari manakah kebiasaan membaca itu bermula, yang terngiang di benakku pertama kali ialah orang tua.

Bukan. Aku bukan berasal dari keluarga berada yang sanggup membeli buku seharga puluhan hingga ratusan ribu. Aku bukan Matilda, tokoh rekaan Roald Dahl yang sejak kecil rajin mengunjungi perpustakaan demi memenuhi kebutuhan membaca buku tatkala ibunya tengah pergi bermain Bingo. Aku juga bukan berasal dari keluarga yang “melek” literasi. Ibu-bapakku tentu tak mengenal apa itu budaya literasi yang kini tengah marak digaungkan.

Seperti kebanyakan cerita perjumpaan seseorang dengan buku, semasa SD aku tak pernah bertandang ke toko buku di kota. Aku hanya kenal bazar buku yang digelar di sekolah dan balai desa, yang menjajakan Buku Tuntunan Salat, RPAL, RPUL, ATLAS, dan bala-balanya. Sebab, aku sejak kecil memang ambisius urusan akademik (semenjak masuk kuliah, aku merasa hal itu seyogianya memang tak perlu dibuat ambisius) sehingga aku cuma membeli buku penunjang mata pelajaran sekolah.

Sewaktu ada gelaran bazar, aku membeli barang satu-dua buku dengan mencentang buku yang kupilih di selebaran daftar harga, lalu meminta pertimbangan ibu—dan tentu saja menodong minta uang pula. Betapapun terbatasnya finansial orang tua, soal buku dan fasilitas sekolah, ibuku selalu mengupayakan yang terbaik sedari aku kecil hingga beranjak dewasa.

Dongeng Masa Kecil

Dari ibu, aku mulai tertarik cerita legenda dan fabel. Sebab tak punya akses buku khusus fabel dan legenda, aku hanya bisa membaca beberapa kisah di buku paket bahasa Indonesia. Saking sukanya, kala itu Kancil dan Buaya, cerita yang termaktub dalam buku paket kelas I SD, bisa kubaca berulang-ulang. Walakin, aku juga mempunyai kisah masa kecil tersendiri soal mengapa aku tertarik dengan kedua jenis cerita itu. Ibuku sering mendongengiku sebelum tidur dengan tutur bahasa Jawa. Andhe-andhe Lumut, Timun Mas, Kancil Mencuri Timun, Sangkuriang, Malin Kundang, selalu terdengar di telingaku. Tak setiap hari, memang, namun amat sering, meski sudah hafal alurnya; rasa-rasanya aku tak akan pernah bosan jika ibu yang bercerita.

“Putraku si Ande, Ande, Ande Lumut

Temuruna ana putri kang unggah-unggahi

Putrine ngger, kang ayu rupane

Klenthing ijo iku kang dadi asmane”

Hingga kini, memori suara ibu menembangkan lagu itu terkadang lewat sepintas lalu di dalam ingatan. Selisih usia antarsaudaraku masing-masing terpaut sekira 7-9 tahun. Jadi, sewaktu kecil, aku juga mendengar ibu mendongeng ke kakakku. Hingga aku dewasa pun, aku masih sering mendengar ibu mendongeng ke adikku.

Teka-teki Silang

Jika ibu membuatku mengenal cerita fabel dan legenda dari caranya mendongeng ketika hendak tidur, lain cerita dengan bapak. Sewaktu TK hingga SD, aku hanya mengenal bapak sebagai sosok pekerja keras tersebab ia bekerja di Surabaya dan pulang hanya dua minggu atau sebulan sekali. Namun, aku hafal oleh-oleh yang dibawakan Bapak ketika pulang ke rumah. Oreo, buah-buahan seperti apel merah, pir, jeruk, anggur merah, snack aneka rupa, majalah lungsuran dari bos, dan yang tak pernah absen di dalam tasnya: buku teka-teki silang (TTS) yang memacak perempuan cantik dan seksi pada sampulnya. Sorry! Bukan bermaksud seksis; memang begitu adanya. Bapak membelinya dari pedagang asongan di bus antarkota Surabaya-Bojonegoro atau loper koran pinggir jalan.

Sebab bapak di rumah tak lama, hanya satu, dua, atau paling banter tiga hari, aku sesekali menikmati waktu bersamanya dengan mengisi teka-teki silang bersama.

“Sepuluh mendatar. Udang kering. Apa, Bapak?” tanyaku sambil memainkan pulpen.

“Masa enggak ngerti. Sudah sering ada pertanyaan itu. E-B-I. Diingat-ingat, kalau nemu pertanyaan yang sama, enggak usah tanya bapak,” kata Bapak.

“Tujuh belas menurun. Hadir. Ini jawabannya ‘ada’, kan, Bapak?” tanyaku sembari menuliskan jawabannya. A-D-A. Ya, bapak mengisi TTS dengan huruf kapital, supaya tulisannya lebih jelas terbaca. Kutiru sajalah.

“Nah, ya. Sudah tahu gitu, kok,” jawab Bapak.

Hingga kini, di ingatanku barangkali masih terdapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ajek TTS sebagaimana yang ia beri tahu jawabannya ketika aku tak menahu.

Selama menjadi anak rantau di Semarang, sesekali aku membeli TTS Kompas yang harganya lumayan menguras kantong, juga TTS serupa pemberian Bapak seharga dua ribu rupiah saja yang kubeli di toko alat tulis kantor dekat indekos. Aku sering mengisi waktu luang dengan berkutat melengkapi kotak-kotak kosong tersebut untuk sekadar melepas penat atau nostalgia masa kecil. Namun, sialnya, kini kenikmatan mengerjakan TTS terdistraksi dengan kemudahan mencari jawaban jika stuck. Tinggal cari di Google dan kau akan memperoleh jawabannya—seperti halnya kita mencari sontekan tugas sekolah atau kuliah di Brainly.

Dari seringnya mengisi TTS semasa kecil itulah aku merasa penting untuk memiliki pengetahuan lain—meski mulanya sebatas pada bermacam pertanyaan di TTS—yang harus kucari tahu sendiri, sebab tak mungkin serta-merta kuperoleh di sekolah. Kalau bapakku—atau barangkali orang lain—menganggap TTS adalah obat pikun; bagiku, itu menjadi langkah awal mengenal kata-kata, mengenal bahwa pengetahuan bisa didapat dari mana saja, mengenal tentang bacaan.

Setumpuk Majalah Lungsuran

Selain TTS, bapak kerap membawa banyak majalah, komik, dan koran lungsuran. Aku senang bukan main ketika tumpukan yang ia bawa terselip majalah Bobo dan beragam komik. Selain itu, banyak juga majalah remaja hingga majalah dewasa yang sering kulihat-lihat fotonya saja. Di koran, aku gemar membaca iklan baris, terutama biro jodoh, sembari membatin, “Betapa kayanya, ya, orang-orang yang memasang iklan di sini,” tanpa tahu-menahu tarif pemasangan iklan.

Aku membaca komik Sinchan puluhan volume dan aneka komik lain yang aku lupa judulnya. Di majalah Bobo, aku juga gemar mengisi TTS-nya. Selain itu, cergam Petualangan Oki dan Nirlmala, Deni Manusia Ikan, Bona Si Gajah Kecil Berbelalai Panjang yang berteman baik dengan si Rong Rong, rubrik Keliling Dunia, cukup mewarnai masa kecilku yang boleh dibilang, pada masa itu, menyenangkan—karena aku tak disibukkan oleh apa-apa selain “jadi anak yang bagus; belajar, main, mengaji sudah ada waktunya sendiri; yang rajin belajar; berbakti, menghormati siapa saja; dan tidak boleh mudah membenci orang lain,” begitu ibuku berpesan. Itu perkara mudah bagi anak kecil, tetapi setelah dewasa, sadar betul ternyata tak semudah itu.

Masa kecil yang berbekal majalah dan komik lungsuran itu kalau sekarang kuingat bikin senyum-senyum sendiri. Namun, sayang, beragam komik dan majalah itu tak terselamatkan. Aku pernah mencoba mencarinya sambil menangis dengan mengubek seisi rumah, namun nihil. Mungkin karena rumahku yang kecil dan sesak, menjadikan semua bukuku mesti diloakkan. Komik Sinchan tinggal satu yang masih tersimpan di rak bukuku di rumah, hingga sekarang.

Jejak masa kecil itu mengantarku menemui perjalanan demi perjalanan yang tanpa dinyana selalu bersinggungan dengan bacaan. Mulai tingkat Madrasah Tsanawiyah—setingkat SMP, aku mulai memanfaatkan laptop dan modem yang dibelikan orang tua untuk memperoleh buku-buku gratis. Di tingkat Madrasah Aliyah—setingkat SMA, aku menjadi pedagang buku lewat media sosial dan blog, entah buku baru maupun bekas koleksi pribadi. Aku juga menikmati momen betapa berubah-ubahnya genre buku yang kubaca.

Hingga kini, aku selalu merasa ada bagian dalam hidupku di mana aku bisa “hidup” dan merasa “hidup” sebab mengenal sumber bacaan, terutama buku.

Soal itu, akan kuceritakan di lain kesempatan, tentu jika tidak merasa takut dan malas! Tabik. []





Posting Komentar

0 Komentar