Seperti kata Fromm, “Hanya butuh satu detik untuk mengatakan ‘I love you’, tapi butuh waktu seumur hidup untuk membuktikannya.” Mencintai sesungguhnya tak pernah ada batas akhirnya. Mempelajari Babakan cinta butuh waktu seumur hidup. Dan apakah kita betul-betul sanggup dan mampu mencintai?
Cinta
adalah seni. Demikian kesimpulan Erich Fromm, seorang psikoanalis asal Jerman
dalam bukunya Seni Mencintai. Fromm menolak kecenderungan umum yang menganggap
cinta sebagai anugerah semata, yang hanya digondol orang-orang beruntung.
Cinta, menurutnya, adalah seni—dan seperti halnya seni melukis, menyanyi,
menari, dan sebagainya, cinta membutuhkan pengetahuan dan usaha untuk
dipelajari serta dikuasai. Dengan kata lain, cinta bukan sesuatu yang datang
tiba-tiba atau bersifat ilham semata, tetapi merupakan keterampilan yang dapat
dikembangkan setahap demi setahap.
Baiknya,
pembaca mencermati dan mengantisipasi sikap sinis Fromm—salah seorang pionir
Mazhab Frankfurt—terhadap sistem kapitalistik yang ia anggap durjana dan
menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan. Mazhab ini memang dihidupi oleh
sekelompok pemikir yang keranjingan menguliti dominasi kekuasaan dan kolusi
ideologis yang mengungkung kehidupan manusia modern. Sementara itu, pembaca
buku ini juga dituntut piawai dalam membangun kerangka struktur narasi
reflektif tentang diri sendiri. Tak heran jika argumen Fromm terkadang mencuat
sebagai sesuatu yang sukar diserap oleh nalar sadar, sebab ia bermain di
kanal-kanal alam bawah sadar yang membingkai psikologi manusia secara laten.
Fromm
memaparkan proses jatuh cinta modern secara bertahap dan menggugah: (1) orang
asing terasa menggoda lantaran sudden intimacy yang mendadak meletik; (2)
mereka larut dalam keintiman yang dibungkus keindahan buatan; (3) ketika
penasaran luntur, rasa cinta pun memudar dan menghilang. Pada gilirannya, ilusi
ini dibumbui pengulangan karena manusia terus menerus disodori kerinduan pada
ketunggalan yang utuh dan menyemai pengharapan akan keutuhan diri.
Aktivitas
mencintai dalam masyarakat modern mengundang sederet pertanyaan genting tentang
subjek cinta itu sendiri. Mengapa manusia membangun relasi berdasarkan
standar-standar semu yang nyaris objektif? Mengapa laki-laki seolah wajib
mencari perempuan dengan tubuh sintal, rambut panjang terurai, dan kulit putih
mengilat? Mengapa perempuan harus memantaskan diri lewat dandanan, bersikap
lembut, sementara laki-laki dipatok untuk berpenghasilan tinggi dan
berpendidikan mentereng? Apakah cinta memang tak lebih dari proyek pencitraan
yang berbuntut pada objektifikasi?
Celakanya,
semua itu tak bisa dilepaskan dari muasal sistem nilai yang meracuni tafsir
tentang cinta. Fromm menyoroti bahwa akar permasalahan ini setidaknya bisa
ditelusuri sejak era Victoria, saat cinta dan pernikahan bukan perkara naluri,
melainkan kalkulasi sosial yang dibentuk secara sadar. Namun, jika kita
meneropong lebih jauh, Fromm hanya menjungkirbalikkan realitas yang telah ada
sejak dahulu: status sosial telah lama memainkan peran sebagai penentu
mencintai atau tidaknya seseorang. Lantaran hidup dipenuhi pertimbangan,
manusia pun menyiasati relasi cinta sebagai mekanisme bertahan hidup.
Kini,
objek cinta bergeser. Tak lagi status sosial semata, tetapi objek-objek
materiil dan karakteristik visual—yang dalam istilah Fromm—merupakan barang
jualan dalam pasar kepribadian. Kepribadian telah dibanderol sebagai komoditas:
seseorang yang karismatik, mapan, rupawan, dan luwes dalam bergaul akan
mendapat label ‘layak dicintai’. Maka, tak heran jika manusia modern lebih
sibuk menjadi pribadi yang pantas dicintai, ketimbang belajar menjadi pribadi
yang sanggup mencintai.
Dengan
kata lain, cinta mengalami pengentalan menjadi produk massal. Ia tak lagi
membangkitkan kedalaman relasi, tapi hanya sekadar pertukaran nilai guna yang
labil. Cinta modern menjadi cermin bagaimana pasar mengutak-atik emosi manusia
secara masif dan membungkusnya sedemikian rupa hingga sulit dibedakan dengan
nafsu kepemilikan.
Cinta
sejatinya bukan relasi satu arah yang menuntut objek, melainkan orientasi
karakter yang melibatkan jiwa secara total. Dengan mencintai, manusia menyemai
kekuatan untuk memberi dan menghidupi cinta itu sendiri. Cinta adalah
keterlibatan emosional yang mampu membendung isolasi akibat egosentrisme. Orang
yang mencintai sungguh-sungguh tak akan terpaku hanya pada pasangannya, tapi
akan mengasah kepekaan terhadap dunia secara lebih luas.
Sayangnya,
bentuk cinta yang beredar hari ini kerap dibatasi oleh narsisme: perhatian
hanya ditumpahkan kepada pasangan, dianggap sebagai bukti cinta paling sahih.
Padahal, cinta bukanlah siasat untuk menumpulkan kesepian pribadi melalui objek
luar, melainkan geliat batin yang harus dihidupi bersama semesta.
Fromm
membunyikan alarm keras terhadap kekeliruan ini. Ia membandingkan orang yang
menunggu cinta tanpa belajar mencintai dengan pelukis yang menanti objek yang
tepat, namun tak pernah berlatih melukis. Pandangan semacam itu menumpulkan
potensi dan menyesatkan. Sebab cinta bukanlah hasil instan dari pertemuan dua
objek ideal, melainkan buah dari latihan mencintai yang terus-menerus.
Sebagai
ilustrasi: terkadang karena terlalu cinta, seseorang melarang pasangannya
bergaul, bercanda dengan lawan jenis, bahkan membatasi dunia sosialnya. Cinta
yang semacam ini perlahan-lahan akan menggasak kebebasan dan, tanpa disadari,
mengoyak hati atas nama kepemilikan. Pada titik ini, cinta menjelma menjadi
penguasaan, bukan pemberdayaan; menjadi pembatas, bukan pelepas; menjadi
belenggu, bukan obor yang menerangi hidup.
0 Komentar