Membaca Tradisi Kawin Tangkap yang Menjerat Perempuan Sumba


Dokumen: Gramedia Pustaka Utama
Oleh Yusrotul Ilya    



 Judul: Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam

Penulis : Dian Purnomo

Jumlah halaman : 319 Hlm

Genre : Fiksi, feminisme

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Tahun terbit : 2020

Peresensi : Yusrotul Ilya

SINOPSIS :

Magi Diela diculik dan dijinakkan bak binatang. Pupus harapan dan impiannya membangun Sumba. Kini dia harus melawan orangtua, seisi kampong, adat yang ingin merenggut kemerdekaannya sebagai perempuan. Ketika budaya memenjarakan hati Magi yang meronta, menyerahkan diri kepada di mata keranjang atau menyurangi kematian dirinya.

ISI :

            Dian Purnomo adalah penulis lepas sekaligus konsultan isu perlindungan anak dan kekerasan berbasis gender. Dalam novel Perempuan Yang Menangis Kepada Bulan Hitam menceritakan tradisi kawin tangkap yang sangat menyedihkan bagi perempuan di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Hal ini mendapat perhatian Dian Purnomo dan mendorongnya untuk menyuarakan jerit perempuan yang seolah tak terdengar. Novel ini disajikan dengan apik karena mengangkat isu Perjuangan perempuan dan pemberontakan terhadap budaya patriarki yang masih menjerat di kawasan sumba, karena budaya kawin tangkap masih mendarah daging di kawasan tersebut.

Novel ini berkisah tentang perempuan asal Sumba yang bernama Magi Diela. Sosok perempuan ini berjuang melawan hal sakrar bagi wilayahnya sendiri yaitu praktik “kawin tangkap” dan harus menelan pil pahitnya kehidupan sebagai perempuan. Kawin tangkap adalah tradisi dan praktik kawin yang terjadi ketika seorang lelaki menculik dan menangkap perempuan untuk dijadikan istri lalu menikahinya secara paksa. Pasalnya, praktik kawin tangkap yang sangat merugikan pihak perempuan masih menjamur dan jamak dilanggengkan di beberapa daerah di indonesia, salah satunya bisa ditilik di kawasan Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan masih dianggap baik untuk perempuan dengan dalih tradisi turun-temurun dari leluhurnya. Praktik ini dikenal dengan istilah 'Yappa Mawine' secara harfiah mempunyai makna culik perempuan. Orang juga bisa menyebutnya piti rambang (kawin culik). Tradisi ini dinormalisasi karena angapan--dengan adanya tradisi tersebut, perempuan bisa menikah secara cepat lalu senantiasa kemudian bisa  ditukar semacam mahar yang dikenal dengan istilah 'Belis' yang biasanya berupa hewan ternak.

Sebagai Perempuan yang berpendidikan, ia memiliki harapan dan impian yang dapat mengangkat perekonomian keluarganya dan membangun Sumba harus pupus. Melalui tantangan penuh lara, hancur tak berdaya hingga ingin memutuskan untuk mengakhiri hidup. Setelah ia diculik, dilecehkan, diperkosa dan mengalami kekerasan oleh Leba Ali (sosok yang cukup berkuasa di sana yang usianya sepantaran dengan sang Ayah Magi) yang telah membuat mentalnya hancur, orangtua Magi senantiasa  mendukungnya dalam menghentikan proses adat. Melawan adat dan melawan orang tua akan menjadi babak yang buruk dalam kehidupan anak perempuan di Sumba. Orangtua yang paling Magi Sayangi dan percayai justru mewajarkannya.

Hal ini membuat Magi bertikai dengan hatinya antara menjaga adat untuk melanggengkan adat Sumba ataukah menyelamatkan jiwanya. Magi adalah sosok perempuan Sumba yang membuat keputusan benar-benar gila, dia mengejutkanku dengan keberaniannya. Saya merasa novel ini begitu nyata karena cerita yang tersaji di dalamnya tidak terlalu rumit untuk dibaca pembaca pemula . Ceritanya berfokus pada Magi Diela, namun emosinya bergejolak dengan kehadiran sahabat Magi, Dangu Toda. Pria baik yang peduli dan terbuka terhadap hak-hak perempuan. Sayangnya dalam tradisinya, perempuan tidak boleh menikah dengan laki-laki satu desa karena dikhawatirkan masih ada hubungan ikatan darah. walhasil, inilah yang membikin Magi tidak boleh menikahi sahabatnya sendiri yang secara pendekatan emosional si Dangu Toda menaruh hati kepada Magi.Sosok Dangu Toda juga berpengaruh dalam novel ini, sebab, ia salah satu support system yang dimiliki oleh Magi. Cerita secara keseluruhan dapat kalian baca sendiri, karena aku tak ingin memberikan spoiler banyak-banyak.

Namun ada satu hal yang tak ku temukan dalam kisah ini adalah latar waktu yang spesifik, karena dalam dugaan saya cerita ini terjadi 2011 -2019. Kisah yang cukup menarik perhatian untuk dibaca, Bagaimana masyarakat mengendalikan perempuan, dan semenyedihkan itu posisi perempuan di masyarakat yang patriarki. Semoga tak akan ada sosok sosok Magi yang lainnya yang menjadi korban atas adat yang merugikan pihak perempuan disana. So, aku nyaranin buku ini kepada siapa saja yang ingin melihat luka hidup Perempuan secara lebih luas.[]






Yusrotul Ilya
Menjalani Kehidupan sebagai Mahasiswa Universitas Negeri Islam Surabaya
Jurusan Ilmu Politik
Penikmat teh, susu dan buku.
Pesan darinya "Bacalah , karena menulis itu jauh lebih susah"


Posting Komentar

0 Komentar