Menggugat Manusia sebagai Pelaku Perusak Lingkungan melalui Novela Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang



ilustrasi dari Marjin kiri


Judul buku : Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya terbang

Penerbit : Marjin kiri

Jumlah halaman : 86 halaman

Karya : Luiz Sepulveda

“tapi aku tidak tahu cara merawat telur! Aku belum pernah melakukan ini sebelumnya” lolong Zorbas putus asa. Halaman 35. 

 Siapa yang berpikir seorang kucing tiba-tiba merawat telur? Kesetiaan para hewan-hewan akan janjinya, kasih sayang antar-spesies, kucing pelaut yang berada pada kapal keruk sampah, bahkan kucing yang berbahasa manusia. Sudah berbicara bahasa manusia, bisa banyak bahasa pula! Ditambah, disajikan pula dimensi dimana para hewan merdeka secara pikiran, menyusun strategi, hingga memilih manusia yang layak untuk dimintai bantuan, bahkan bernegoisasi. Sajian absurd, seakan menjauhkan cerpen ini dengan realitas. Namun, Sepulveda dengan sangat apik menarik semua ide tersebut dan membawa pembaca kepada pemikirannya mengenai isu-isu lingkungan. Seakan ingin mengatakan “persetanan dunia yang aneh itu, aku mau membicarakan ini dengan cara yang mewah!”

 Secara garis besar, buku ini membicarakan mengenai, Kengah, seekor camar yang tiba-tiba berada di balkon rumah Zorbas si kucing hitam besar dengan keadaan sekarat karena tumpahan minyak di laut. Ia meminta kepada Zorbas, untuk membantu merawat telurnya hingga menetas dan mengajarinya terbang. Bukan permintan yang mudah bagi Zorbas untuk melaksanakannya. Namun, janji adalah janji. Kengah meninggal, dan ia menitipkan satu telur kepada Zorbas. Hal ini mengawali Zorbas untuk berpetualang dengan misi menepati janji kepada sang ibu camar, Kengah. Mulai dari teori aerodinamika dari kucing akademisi, Profesor, hingga dengan puisi. Fortuna (nama anak burung camar tersebut), akhirnya bisa terbang. 

 Buku ini memiliki pesona tersendiri sebagai buku yang diperuntukkan untuk para anak-anak dan remaja. Seperti tujuan buku ini, untuk mengasah: kepekaan, empati, dan kesadaran kritis; saya percaya kepada Sepulveda, bahwa dengan pesan-pesan gamblangnya, ia dapat memengaruhi setidaknya setitik alam pikir reflektif pada diri anak-anak dan remaja untuk dikembangkan menjadi empati. Bukan terhadap sesama manusia saja, namun kepada alam, hewan, hingga rumput yang mereka injak. 

“…kami belajar menghargai, menghormati, dam mencintai yang berbeda dari kami. Mudah sekali menerima dan mencintai mereka yang sama seperti kita, tetapi mencintai makhluk yang berbeda itu sangat berat, dan kau membantu kami melakukan itu… Fortuna, kupastikan kau akan merasa bahagia, dan perasaanmu kepada kami serta perasaan kami kepadamu akan menjadi kian dalam dan kian indah karena inilah kasih sayang antara makhluk yang sama sekali berbeda.” Halaman 67.

 Saya sangat menyukai kutipan ini, karena tidak muluk-muluk, satu paragraf, dan tegas. Mengenai kasih sayang tulus pada makhluk yang berbeda. Seakan-akan ingin memberitahukan kepada para pembaca untuk menurunkan sifat jumawa dan mencoba bersahabat dengan alam. Atau setidaknya belajar untuk menghargai kehidupan. Tidak muluk-muluk, saya tau kalian butuh makan, namun perlakukan mereka dengan baik, bahkan ketika ingin memakannya.  

“kadang aku berpikir apa manusia memang benar-benar sudah gila, sebab mereka seperti ingin mengubah lautan menjadi tempat pembuangan sampah raksasa.” Halaman 62. 

 Kisah seekor camar dan kucing yang mengajarinya terbang, terbit pada tahun 1996, dengan latar belakang tempat di Jerman. Tepat dimana Sepulveda mulai berkecimpung dalam aktivisme lingkungan. Tercemarnya sungai Elbe, tabrakan kapal tanker minyak, pembuangan minyak di laut tanpa adanya filtrasi, hingga berdirinya International Bird Rescue yang menyelamatkan burung yang terjebak minyak hitam di laut, merupakan peristiwa yang terjadi sebelum tahun 1996. 

Hal ini membuat saya menduga bahwa hal tersebut merupakan perhatian utama yang ingin disorot oleh Sepulveda. Karena terlibatnya dunia internasional, buku anak yang terbit dengan membawa topic berat mengenai isu lingkungan tersebut seakan terasa relevan dan ringan, karena berita. seperti burung, terbang bebas di udara, hingga bisa berhinggap pada telinga siapa saja. 

Kalau begitu, apakah buku ini masih relevan? Saya bisa mengatakan masih, namun pada tataran-tataran pemahaman tertentu, hal ini sekaligus tidak relevan. Maka saya akan menyarankan bahwa dalam pembacaan buku ini, terutama untuk anak-anak dan remaja yang belum mahir dalam meriset, sebaik-baiknya perlu didampingi oleh orang dewasa yang bisa menjelaskan beberapa konteks historis dari buku ini, atau beberapa isu yang tak relevan secara geografis. Saya harap buku ini bisa dibaca dan dinikmati secara komprehensif, karena memang benarlah, buku ini menarik.


Nurul Istiqomah
Mahasiswa Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Aktif di Pers Mahasiswa


Posting Komentar

0 Komentar