"Bajul Putih Padangan: Perspektif Mitologis, Historis, dan Ekologis"

 

Dokumentasi Jurnaba

"Bajul Putih Padangan: Perspektif Mitologis, Historis, dan Ekologis"

Padangan, sebuah kecamatan di Bojonegoro, tidak hanya dikenal sebagai daerah yang sarat dengan peninggalan wali, tetapi juga sebagai Panggon Bajul Putih—tempat yang lekat dengan mitos buaya. Narasi tentang buaya di kawasan ini bukan sekadar cerita rakyat yang diwariskan turun-temurun, tetapi juga fenomena ekologis yang memiliki pola tersendiri.

Setiap tahun, masyarakat Padangan menyaksikan kemunculan buaya di sungai-sungai sekitar, seperti Kali Prudung dan Sungai Bonagung. Namun, yang menjadikan fenomena ini menarik adalah kaitannya dengan siklus banjir. Dalam perspektif ilmu titen—ilmu membaca tanda-tanda alam yang dipraktikkan masyarakat Jawa—kemunculan buaya di Padangan selalu diikuti oleh banjir bandang.

Keunikan lainnya adalah bagaimana buaya ini menghilang begitu saja saat banjir benar-benar datang. Berbeda dengan daerah lain di mana banjir sering kali membawa serta kemunculan buaya, di Padangan, buaya justru muncul sebagai "pemberi isyarat" sebelum air bah tiba. Fenomena ini memantik berbagai interpretasi dari sudut pandang mitologi, semiotika, hingga ekologi, yang semuanya berpusat pada keberadaan sungai sebagai unsur penting dalam kehidupan masyarakat setempat.

Mitos Bajul Putih: Antara Khodam Wali dan Penjaga Bengawan

Dalam mitologi lokal, Padangan sering dikaitkan dengan Savana Wilmaya—suatu konsep yang menggambarkan muara buaya dan suaka bagi para pengembara. Banyak nama buaya mitologis yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat setempat, di antaranya Bajul Oro-oro Bogo, Bajul Destoroto, Bajul Bonagung, Bajul Prudung, Bajul Rante, Bajul Kluloh, Bajul Buduk, dan Bajul Petak.

Dari sekian banyak sosok mitologis tersebut, Bajul Oro-oro Bogo dikenal sebagai buaya putih raksasa yang sering muncul saat banjir besar. Sementara itu, Bajul Petak dipercaya sebagai makhluk mistis yang memiliki kepala di Padangan dan ekor di Malo, mencerminkan betapa luasnya kekuasaan spiritual yang dilambangkan oleh buaya ini.

Buaya-buaya ini tidak sekadar makhluk mitologis, tetapi juga diyakini sebagai khodam para wali yang dahulu melakukan perjalanan dakwah di wilayah Bengawan Solo. Sebagai makhluk penjaga, mereka memiliki peran ganda: di satu sisi, mereka menjadi pelindung wilayah, di sisi lain, mereka juga bertindak sebagai penghubung antara dunia manusia dan alam gaib.

Buaya dalam Sejarah dan Semiotika Kesultanan Pajang

Dalam perspektif semiotika historis, Bajul Putih Padangan tidak bisa dilepaskan dari jejak Kesultanan Pajang. Sebagai kerajaan yang berakar pada budaya maritim sungai, Kesultanan Pajang menjadikan buaya sebagai simbol kekuasaan dan perlindungan.

Sultan Hadiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang yang lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir, dikisahkan memiliki hubungan erat dengan buaya putih. Bahkan, dalam beberapa naskah sejarah, ia selalu digambarkan dikawal oleh 40 buaya putih setiap kali menyeberangi sungai.

Kedekatan ini bukanlah sesuatu yang tiba-tiba muncul, melainkan bagian dari warisan turun-temurun. Berdasarkan Carub Kanda dari Kesultanan Cirebon, leluhur Sultan Hadiwijaya, Raden Ishak Pandoyo, dikenal dengan gelar Pangeran Bajul Petak—sebuah julukan yang menunjukkan dominasi atas maritim sungai. Keturunan berikutnya, Pangeran Handayaningrat dan Pangeran Pengging, juga merupakan penguasa maritim sungai, hingga akhirnya garis ini berujung pada Jaka Tingkir yang mendirikan Kesultanan Pajang.

Kesultanan Pajang, dalam narasi besar sejarah Nusantara, sering disebut sebagai Benawa Sekar—yang berarti "Bunga Perahu". Istilah ini merujuk pada kejayaan peradaban sungai yang dikendalikan oleh kerajaan ini. Namun, pada 1722, narasi ini perlahan dikaburkan oleh kolonialisme Belanda dan penguasa Mataram yang membentuk historiografi baru. Kejayaan Kesultanan Pajang sebagai kerajaan maritim perlahan-lahan direduksi menjadi cerita peperangan anak kecil melawan raja tua—sebuah dongeng politik yang didesain untuk menghapus jejak kejayaan Tlatah Nagari Jipang.

Dalam konteks ini, Bajul Putih Padangan bukan sekadar mitos, tetapi simbol perlawanan terhadap kolonialisme historiografi. Ia adalah representasi dari kejayaan maritim yang berusaha dikubur oleh narasi imperialisme, tetapi tetap hidup dalam kesadaran masyarakat setempat.

Ekologi dan Ilmu Titen: Buaya sebagai Isyarat Alam

Dari sudut pandang ekologis, fenomena buaya Padangan dapat dibaca sebagai bentuk komunikasi alam dengan manusia. Sebagai predator puncak dalam ekosistem sungai, buaya memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan populasi ikan dan satwa air lainnya. Namun, yang menarik adalah bagaimana buaya di wilayah ini tidak pernah dilaporkan menyerang manusia.

Masyarakat percaya bahwa buaya Padangan masih memegang sabda para wali: mereka boleh hidup di sungai, tetapi tidak boleh mengganggu manusia. Sebaliknya, kemunculan mereka justru menjadi peringatan dini bagi masyarakat akan datangnya bencana alam.

Konsep ini sejalan dengan prinsip deep ecology, di mana manusia tidak ditempatkan sebagai penguasa alam, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar. Dalam ilmu titen, keberadaan buaya menjadi semacam indikator perubahan lingkungan. Kemunculan mereka sebelum banjir adalah cara alam "berbicara" kepada manusia, memberikan tanda-tanda yang dapat dibaca oleh mereka yang peka terhadap siklus alam.

Baik dalam mitologi, sejarah, maupun ekologi, Bajul Putih Padangan adalah entitas yang menolak dilupakan. Ia adalah penjaga sungai, penghubung antara manusia dan alam, serta simbol dari kejayaan peradaban sungai yang berusaha dihapus oleh narasi kolonial.

Dalam setiap kemunculannya, Bajul Putih tidak hanya membawa ingatan akan masa lalu, tetapi juga pesan bagi masa depan: bahwa sungai adalah nadi kehidupan yang harus dijaga, bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, dan bahwa mitos adalah cara masyarakat menyandikan kearifan mereka dalam bahasa yang abadi.

Bajul Putih Padangan, dalam segala aspeknya, bukan sekadar cerita tentang buaya. Ia adalah metafora tentang peradaban yang terus mengalir, seperti sungai yang tak pernah berhenti mencari jalannya sendiri.

Posting Komentar

0 Komentar