Petugas kebersihan pondok Langitan
Dalam rangka mencermati realitas yang tersaji di hadapan, amatlah urgen untuk menaruh perhatian pada fenomena-fenomena yang selama ini tersisih, yang kerap diduga sebagai remeh-temeh. Dengan kata lain, kecenderungan umum yang terlalu fokus pada hal-hal besar justru menumpulkan kepekaan terhadap detil-detil yang membentuk lanskap sosial secara menyeluruh. Dalam kenyataannya, fragmen-fragmen kecil dalam kehidupan manusia kerap memainkan peran sebagai perantara yang menyatukan kehidupan yang akbar, dan sepatutnya tidak disodori perlakuan hierarkis yang mengesampingkan nilai keberadaannya.
Saya memperoleh pembelajaran yang substansial dari pengalaman di pondok pesantren Langitan. Bukan dari aspek-aspek yang selama ini dikenal dalam narasi dominan—pengajian kitab kuning, fasilitas perpustakaan, atau sorotan media terhadap figur-figur yang dianggap agung dan luhur. Justru, pelajaran paling mengesankan saya dapatkan dari yang sepintas larut dalam keheningan: pekerja-pekerja kebersihan yang dengan tekun menjalankan tugasnya. Mereka membangun kebermanfaatan yang genting bagi kehidupan santri sehari-hari.
Sebenarnya, saya datang ke pesantren Langitan dengan maksud menilik perpustakaannya. Tentu saja saya berharap menemukan ruang baca yang setidaknya menghadirkan keberagaman bacaan: buku-buku pemikiran mutakhir, literatur Islam majemuk, jurnal, hingga novel-novel. Namun, ekspektasi itu segera buyar. Koleksi di perpustakaan tersebut ternyata sangat terbatas. Didominasi kitab-kitab berbahasa Arab, beberapa majalah , dan hampir tak ada kanal-kanal pengetahuan lintas disiplin. Sulit membayangkan perpustakaan ini sebagai ruang intelektual terbuka. Tapi, lantaran saya menyadari konteksnya, tetap saja keberadaannya layak diapresiasi. Di banyak pondok, keberadaan perpustakaan saja sudah merupakan capaian beruntun yang tak bisa disepelekan.
Saya menelusuri celah-celah yang jarang disorot. Pada gilirannya, perhatian saya mengarah pada aktivitas-aktivitas minor yang nyaris tak pernah dijadikan pokok bahasan dalam diskursus publik. Misalnya, petugas kebersihan yang saban hari menyisir asrama untuk memunguti dan menyortir sampah. Sebagian sampah dikumpulkan dan dijual, sebagian lainnya dibakar. Di sini saya menyimak dengan saksama betapa sistem pengelolaan sampah ini tak hanya fungsional, tetapi juga menyemai etika keberlanjutan yang konkret.
Sementara itu, proses pengelolaan sampah di Pondok Pesantren Langitan berjalan sedemikian rupa sehingga mencerminkan sistem kerja yang terorganisasi dan berkitar-kitar pada prinsip efisiensi. Mulai dari pembersihan rutin di tiap asrama hingga menuntaskan proses pengolahan akhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA), semua itu memainkan peran penting dalam menjaga kebersihan lingkungan pondok.
Hal ini tentu saja tidak lepas dari tabiat petugas domestik sebagai penjaga kebersihan di lingkungan pesantren. Mereka telah menjadi bagian sistem kerja yang dikelola secara sistematis, membentuk unit-unit kecil yang dibagi tugas: satu kelompok bertugas di pondok putra, sementara yang lainnya hendak menjaga kebersihan pondok putri.
Saban hari, mereka bergerak menelusuri jejak-jejak sampah dari asrama ke asrama, dari lorong-lorong sempit hingga ke ujung-ujung ruang publik. Proses pengumpulan dilakukan dua kali sehari—pagi dan sore. Tak heran, pemandangan harian di kawasan Ponpes Langitan terlihat asri, nyaris menampik kesan kumuh yang sering membikin prihatin di tempat-tempat lain.
Setelah itu, sampah-sampah yang telah dikuntit dengan gerobak disodori ke TPA pondok untuk menjalani proses pemilahan. Di titik inilah, antara sampah kering dan basah, antara yang masih bisa menghidupi nilai dan yang sudah lapuk, dipisahkan secara teliti.
Setibanya di TPA, sampah-sampah tersebut tidak langsung dibakar begitu saja. Sebelumnya, dilakukan proses pemilahan yang cukup ketat—antara sampah kering dan basah, serta antara yang masih bisa dimanfaatkan dan yang benar-benar tidak lagi menyisakan guna. Proses ini dijalankan oleh tim kebersihan dengan ketelitian yang mencerminkan kesadaran ekologis yang tak bisa dikesampingkan.
Sampah-sampah yang masih menyisakan nilai jual seperti kardus dan botol dipilah dengan telaten, lalu dijual untuk menambah pendapatan pondok. Dengan kata lain, proses ini bukan sekadar membersihkan, tetapi juga menghidupi sistem ekonomi internal pondok.
Adapun sampah-sampah yang telah rampung dipilah, yang tak bisa lagi digunakan lagi, akhirnya dibakar.
Abdurrauf, ketua petugas kebersihan di bagian pondok putra, menyoroti pentingnya tahap pemilahan ini sebagai bagian dari sistem yang lebih besar. Ia memaparkan bahwa semua sampah yang masih memiliki nilai guna, seperti kardus dan botol plastik, akan dipisahkan untuk kemudian dijual. Dengan kata lain, pengelolaan sampah di Langitan tidak hanya berhenti pada aspek kebersihan semata, tetapi juga menyentuh sisi ekonomi yang menghidupi sebagian kecil kegiatan pondok.
Setelah semua sampah selesai dipilah, sisanya yang sudah tidak dapat dimanfaatkan lagi akan segera dibakar. Tahap ini menjadi akhir dari rangkaian kerja yang dijalankan para petugas kebersihan—mereka yang saban hari terpanggil menjaga Langitan tetap bersih, asri, dan terhindar dari puing-puing kelalaian.
Pola kerja petugas malam Rabu dan Jumat, yang membersihkan tempat wudhu dan toilet, juga mencuat sebagai bukti dedikasi tanpa pamrih. Mereka melibatkan diri dalam kerja-kerja yang tak sedap namun krusial. Kebahagiaan mereka tak berpijak pada pengakuan, tetapi pada kesadaran bahwa manfaat tak harus dibarengi sorotan. Orang-orang seperti merekalah yang meruntuhkan tudingan antara kerja tinggi dan rendah. Mereka merampungkan tugas yang tak enteng dengan tenang, nyaris tak meninggalkan jejak ego. Mereka menghidupi makna kebermanfaatan dalam bentuk paling otentik.
Tentu saja, keberadaan mereka membongkar kekeliruan kita dalam mengonsep makna kontribusi. Mereka tidak mendapuk diri sebagai pahlawan, tetapi efek dari kerja-kerja mereka menjungkirbalikkan definisi donor yang sering kita anugerahkan. Di pesantren Langitan, kebermanfaatan bukan sesuatu yang dipentaskan, tetapi sesuatu yang dibagikan, tanpa seremoni, tanpa pamrih.
Mengamati semua itu membuat saya terpanggil untuk menulis risalah kecil ini. Sebagai pengingat bahwa dalam dinamika sosial, hal-hal mungil sering kali justru merupakan pilar yang menopang segalanya. Bahwa dalam diam, mereka menggerogoti ilusi bahwa kerja bermakna hanya jika dilihat orang. Dan bahwa belajar, dalam bentuknya yang paling jujur, adalah ketika kita sanggup menenggelamkan diri ke dalam laku hidup orang lain, tanpa niat menghakimi, apalagi mengintervensi.
Oleh : Rudi Reading
0 Komentar