Sejarah diingat untuk membunyikan lonceng peringatan akan hal-hal yang tak elok di masa lampau untuk segera dibenahi. Sejarah mengajari kita memahami sebegitu kompleknya isi kepala manusia. Perasaan tertindas, sakit, penderitaan turun-temurun, perasaan tidak lengkap dan optimisme atau keyakinan yang kuat itu lahir dengan harapan dunia bakal berjalan lebih baik lagi. Ia bukan semata arsip atau catatan lama yang tersimpan di lemari berdebu, melainkan ruang batin yang mengingatkan kita akan nilai-nilai yang pernah diperjuangkan dan yang sedang kita abaikan. Sejarah adalah cermin: bening, tajam, kadang menusuk.
Berkeliling dunia bukan sebuah impian banyak orang. Termasuk saya yang tak doyan dan gak betah wira-wiri, meski sesekali suka menyelinap ke bilik lain hanya untuk sekadar memikirkan frustrasi tubuh yang koyak akibat hantaman nasib yang seenak udel. Dunia terlalu luas untuk sekadar dilihat dari balik jendela rumah. Tapi dalam banyak kasus, keberanian untuk melangkah tak pernah mudah. Bukan karena kita tak tahu arah, tapi karena kaki dan keyakinan tak selalu berjalan beriringan. Saya bukan katak yang berani keluar dari tempurung, tapi juga bukan batu yang membatu dalam keterkungkungan. Dan pada titik itulah saya kembali mengingat satu kalimat tua yang hangat dan tetap menyala dalam kepala: kata-kata seorang sufi dan filsuf heroik, yakni Imam Syafi'i.
Imam Asy-Syafi'i pernah mengatakan:
"Merantaulah meninggalkan kampung halaman untuk meraih kemuliaan. Safarlah, karena pada safar ada lima faedah yakni: Menghilangkan kesedihan, berusaha mencari penghidupan, menuntut ilmu, adab, dan berteman dengan orang mulia."
Saya belajar menelaah kalimat tersebut agar dekat dengan posisi saya yang sangat rentan untuk diceritakan di sini. Saya semampu mungkin dengan energi secukupnya beriktikrar untuk merantau—bersafar, mencari peruntungan supaya mendapatkan lima faedah tersebut dan, akhirnya, saya menemukan banyak—bahkan melampaui lima itu. Di setiap tikungan jalan dan percakapan yang tak dirancang, saya menemukan pelajaran-pelajaran kecil yang tak pernah saya duga sebelumnya. Cerita-cerita menyoal Surabaya tak habis bila diceritakan lewat media sosial yang sangat sempit, hanya sejumput dalam membagi wawasan. Kota ini menyimpan banyak lapis, seperti kulit bawang, dan makin dikupas makin terasa pedih sekaligus membebaskan. Ia kota yang mendidik bukan lewat kuliah, melainkan lewat pertemuan, percakapan, dan keberanian mengakui luka masa silam.
Selain itu, Peneleh dijuluki sebagai kampung berkumpulnya lintas ideologi. Lintas ideologi, baik ideologi sayap kanan maupun kiri, lahir dalam satu kampung yang merangsek sekujur kota Surabaya. Kampung itu dinamai Peneleh. Kampung mungil tersebut melahirkan banyak tokoh heroik yang mempelopori gerakan besar dalam sejarah Indonesia. Ia seperti rahim yang tak lelah melahirkan ide, protes, dan kebangkitan. Seperti jamak kita ketahui, dari sana lahir Semaun yang dikenal sebagai tokoh kiri, Bung Karno dengan nasionalismenya yang membakar zaman, Hos Cokroaminoto dengan syarikat Islam yang mencetak para murid tangguh, dan lain sebagainya. Nama-nama itu mungkin tak sempat kucoretkan semua di sini, tetapi jejaknya masih terasa hingga hari ini. Mereka bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga bahan bakar bagi masa depan yang lebih bermartabat.
Mendiang Rusdi Mathari pernah mengatakan, “Selain kelahiran menjadi perayaan kemanusiaan, kematian juga menjadi perayaan kemanusiaan.”
Perayaan di sini dipakai untuk mengingat cerita-cerita orang yang pernah hidup, dari kisah perjuangan, ilmu yang ia sebarkan, kisah kedzaliman-nya—semuanya patut dirayakan sebagai renungan untuk menjalani hidup dengan penuh kehati-hatian. Karena pada akhirnya, kita semua, yang masih bernapas hari ini, yang masih berjalan di atas bumi, adalah mereka yang ditakdirkan menjadi bagian dari orang-orang yang hidup. Kita hidup tidak hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk mengingat dan memaknai mereka yang telah pergi. Kita hidup sambil terus menimbang-nimbang makna kehidupan dari jejak-jejak kematian yang ditinggalkan.
Makam yang saya unggah bukan makam orang-orang desa, bukan makam walisongo (para wali), bukan pula makam para pahlawan yang namanya dicatat di buku sejarah dan disematkan di nama jalan. Tetapi makam tersebut merupakan makam pejabat masa kolonial Hindia Belanda. Mereka bukan orang biasa. Mereka adalah para penguasa, para pemegang kebijakan, para pemilik kuasa yang dulu hidup di atas penderitaan banyak orang. Dan kini, mereka terbaring diam di tempat sunyi, di makam yang barangkali hanya sesekali dikunjungi, namun menyimpan banyak narasi yang tak pernah selesai kita urai.
Makam Peneleh (Surabaya) merupakan pemakaman modern di eranya dengan konsep hierarki kelas sosial yang dibagi menurut pangkat, jabatan, dan keluarga. Itu membuktikan tingkat diskriminasi sosial yang tinggi pada masa itu. Jenazah yang memiliki gelar dan tangga sosial yang tinggi menempati makam yang lebih megah, dengan aksesoris yang lebih estetik, dengan nisan yang lebih mahal, dan pagar yang lebih kokoh. Bahkan setelah kematian, struktur sosial itu tetap dijaga. Bahkan dalam diamnya tanah pemakaman, suara kelas dan status masih bergema. Bahkan ketika tubuh telah membusuk, simbol-simbol kehormatan masih diletakkan dengan penuh kebanggaan.
Namun, ada pertanyaan paling besar yang meresahkan hatiku. Pertanyaan yang muncul dalam sunyi, saat menyusuri barisan makam. Apa yang kita pelajari dari orang-orang yang sudah meninggal? Atau, jika pertanyaannya dikecilkan saja, disederhanakan saja: apa yang terjadi dengan orang-orang terdekat saya ketika saya tiada? Bagaimana mereka mengenang saya? Apakah saya akan diingat sebagai orang yang baik, atau buruk? Sebagai orang yang bermanfaat bagi sesama semasa hidup, atau justru sebagai seseorang yang biasa saja, yang tak meninggalkan kesan, yang tak membekas dalam ingatan? Atau mungkin lebih jauh, apakah saya bisa diingat bukan hanya selama saya hidup, tetapi juga setelah hidup saya selesai?
Sekelumit kenangan pejabat Hindia Belanda yang kita tahu mereka meninggalkan banyak kebijakan yang merugikan orang-orang pribumi waktu itu. Mereka meninggalkan segunduk permasalahan yang masih langgeng sampai hari ini. Permasalahan yang tidak selesai, yang diwariskan seperti beban, seperti kutukan sejarah. Umpamanya kebijakan pendidikan yang eksklusif dan elitis, konflik tanah yang diwarisi hingga kini, eksploitasi terhadap pribumi dan alam yang dampaknya masih kita rasakan. Bagaimana mereka dikenang? Dikenang sebagai kelompok yang mati konoloy karena mewariskan kebijakan buruk yang melahirkan banyak konflik. Dikenang bukan karena kemuliaan, tetapi karena kerusakan. Dikenang bukan karena jasa, tetapi karena luka. Maka, pertanyaannya menjadi lebih rumit: apakah kita ingin dikenang, atau justru dilupakan?
Tak seorang pun tak ingin dikenang. Hasrat untuk dikenang inilah yang melahirkan konsep warisan. Warisan bukan sekadar harta, tetapi juga jejak. Bagi orang yang berharta, warisan berwujud investasi. Bagi orang intelektual, warisan berupa karya. Bagi penguasa, warisan berupa kebijakan. Dan bagi pecinta buku, seperti saya, tentu saja, buku yang banyak berlembar. Buku yang mengandung pikiran, ingatan, dan percakapan. Buku yang bisa dibaca ulang, bisa diwariskan, bisa hidup kembali di tangan siapa pun yang membukanya. Buku yang tidak mati meski penulisnya sudah tiada.
Saya berpikir bahwa ketika saya mati kelak, saya meninggalkan banyak buku. Warisan yang saya pikir mulia, meski saya tak bisa meninggalkan harta apa-apa. Pengetahuan tak lekang oleh waktu, tapi materi mempunyai masa kedaluwarsa. Buku-buku itu nantinya bukan hanya untuk keluarga saya, bukan hanya untuk anak-anak saya atau cucu-cucu saya, tapi juga untuk orang-orang yang tak saya kenal. Untuk mereka yang membutuhkan bacaan, pemahaman, atau bahkan penghiburan. Untuk mereka yang suatu hari menemukan buku itu secara tak sengaja, dan merasakan bahwa isinya penting bagi hidup mereka. Itulah harapan saya. Bahwa buku-buku itu bisa terus berguna, bahkan ketika saya sudah tidak ada.
Apa yang kita pelajari dari perayaan kematian? Bukan karena kita meninggalkan materi atau hal-hal yang sifatnya wujud. Namun cukup menjadi individu yang dapat bermanfaat bagi sekitar. Bagi orang-orang dekat, bagi mereka yang kita jumpai walau hanya sebentar, bagi orang yang mungkin tidak kita sadari pernah tersentuh oleh kehadiran kita. Bahwa hidup bukan hanya tentang kita, tetapi juga tentang jejak yang kita tinggalkan dalam hidup orang lain. Bahwa hidup tidak hanya soal bertahan, tetapi juga soal memberi makna.
Kini saya memahami seperti kata Dea bahwa memelihara rasa takut—takut mati, takut kekurangan, takut tidak membuat kenangan yang indah, takut dilupakan—adalah bagian penting dari upaya untuk menjalani hidup dengan berani. Bahwa ketakutan itu bukan untuk dihapus, melainkan untuk dirawat agar kita tetap sadar akan rapuhnya hidup. Karena hanya dengan keberanian untuk takut, kita bisa memilih untuk hidup dengan penuh makna. Dan hanya dengan hidup yang penuh makna, kita bisa merayakan kematian dengan sepenuh hati.
Oleh : Rudi Reading
0 Komentar