Mitos
Tanah Bojonegoro: Presiden yang Lewat atau Menginjakkan Kaki di Bojonegoro Akan
Terjatuh dari Tahtanya
Dalam
kelamnya sejarah dan jalinan peristiwa yang tak kasat mata, Bojonegoro berdiri
di persimpangan antara nalar dan mitos. Tan Malaka, dalam Madilog, pernah
menyinggung betapa bangsa ini masih terjerat dalam kekuatan yang tak sepenuhnya
rasional—sebuah logika mistika yang mengaburkan batas antara kenyataan dan
keyakinan. Bagi banyak orang, hal-hal semacam ini mungkin sekadar ilusi, dongeng
yang bertahan dari mulut ke mulut. Tetapi di Bojonegoro, mitos bukan sekadar
cerita pengantar tidur. Ia menjelma menjadi keyakinan yang merasuk dalam urat
nadi, menempel pada sendi menuntun langkah, bahkan menentukan siapa yang boleh
dan siapa yang lebih baik tidak menginjakkan kaki di tanah ini.
Di
antara banyak kisah yang berkelindan dalam hembusan angin yang membawa harum
tanah sawah dan rimbun hutan jati, ada satu mitos yang terus hidup, satu
kepercayaan yang tak kunjung pudar: konon, seorang Presiden Republik Indonesia
yang berani menjejakkan kakinya di Bojonegoro akan jatuh dari tahtanya. Ia akan
lengser dari kursinya, kehilangan kuasanya, seolah ada tangan gaib yang
mengatur jalannya sejarah. Seolah ada takdir yang menunggu, menjadikan
Bojonegoro bukan sekadar kota biasa, tetapi semacam pengadilan tak kasat mata
bagi para pemimpin negeri ini.
Filosofi dalam dunia pewayangan. Dalam banyak
lakon, Wisnu adalah simbol kebijaksanaan, keadilan, dan keseimbangan.
Bojonegoro, dalam kepercayaan masyarakat, dianggap sebagai tanah yang selaras
dengan sifat Wisnu—sebuah tempat yang tak bisa menerima pemimpin yang datang
dengan hati bengkok, niat culas, atau ambisi yang menyimpang dari prinsip
kebenaran. Jika seorang pemimpin menginjakkan kaki di sini dengan hati yang
berat oleh kesalahan atau kepentingan pribadi, Bojonegoro dipercaya akan
menuntutnya. Bukan dengan hukuman langsung yang kasat mata, tetapi dengan
takdir yang bekerja perlahan, menggoyahkan pijakan kekuasaannya.
Tak
ada yang tahu pasti dari mana mitos ini bermula. Ia bukan sekadar cerita rakyat
yang muncul tiba-tiba, tetapi tumbuh dan berakar dalam ingatan kolektif. Jauh
sebelum Bojonegoro dikenal dengan namanya sekarang, tanah ini adalah bagian
dari Jipang, sebuah wilayah yang dalam lembaran sejarah dikisahkan sebagai
medan pertarungan antara takdir dan ambisi. Arya Penangsang, sosok yang dalam
cerita Jawa digambarkan sebagai seorang prajurit gagah, memegang pedang dengan
tangan penuh keyakinan, berdiri di medan laga tanpa gentar. Namun, keberanian
semata tidak selalu menjamin kemenangan.
Lahir
dari lembaran-lembaran tua Babad Tanah Jawi karya W. Wits yang ditulis di
Belanda, Arya Penangsang bertarung hingga titik darah penghabisan. Ia bukan
hanya melawan musuh di hadapan, tetapi juga takdir yang telah tertulis
untuknya. Dalam pertempuran yang menentukan, ia menyerang kerajaan Pajang
dengan segenap kekuatannya, tetapi akhirnya takdir merenggutnya lebih dulu.
Darahnya tumpah, mengalir bersama arus Bengawan Solo yang menjadi saksi bisu,
diwarnai oleh tubuh prajurit Sultan Pajang, sang Sultan Hadiwijaya—atau yang
dikenal dengan nama Joko Tingkir.
Dari
peristiwa itu, dari darah yang mengalir dan pedang yang jatuh, dari suara-suara
yang tersisa di antara riak sungai dan desir angin, lahirlah sebuah kepercayaan
yang tak kunjung mati: bahwa siapa pun pemimpin negeri ini yang datang ke tanah
ini akan mengalami nasib serupa. Bahwa takhta yang mereka duduki akan
terguncang, bahwa kekuasaan yang mereka genggam akan luruh sebagaimana Arya
Penangsang yang akhirnya kehilangan tahtanya.
Mitos
ini semakin mengakar ketika Bojonegoro diartikan sebagai Bojone-Negoro, istri
negara, sebuah kiasan yang tak sekadar berbicara tentang wilayah, tetapi
tentang kesetiaan yang menuntut pengorbanan. Sebuah tanah yang sakral, yang
tidak bisa dipijak oleh mereka yang datang hanya sebagai penguasa, tetapi harus
diterima sebagai bagian dari negeri ini dengan segala konsekuensinya.
J.
Feguri, seorang sastrawan Jawa asal Bojonegoro, menyebut bahwa tempat ini
menjadi angker bagi pemimpin, bukan karena kutukan yang nyata, tetapi karena
mitos yang terus dirawat dalam keyakinan. Warta Pos Radar Bojonegoro pernah
memaparkan catatan dari literatur Mijin Witan Seno (1995), sebuah buku yang
ditulis oleh seorang sejarawan Belanda yang meneliti Bojonegoro. Dalam catatan
itu, Soekarno disebut pernah datang ke Bojonegoro pada 9 Juli 1957. Ia berdiri
di alun-alun, menyampaikan pidatonya yang penuh semangat, tanpa tahu bahwa
langkahnya di atas tanah ini akan menjadi bagian dari sebuah cerita panjang
yang terus digumamkan hingga kini.
Tentu
saja, bagi sebagian orang, mitos hanyalah cerita turun-temurun, tak lebih dari
takhayul yang bertahan karena diulang-ulang. Namun bagi mereka yang percaya,
Bojonegoro bukan sekadar kota—ia adalah takdir itu sendiri.
Lihatlah
daftar panjang para presiden Indonesia. Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati,
SBY, Jokowi—mereka semua, dengan berbagai alasan, memilih untuk tidak
menginjakkan kaki di Bojonegoro. Entah karena tidak percaya pada mitos ini,
entah karena ragu, atau mungkin karena jauh di lubuk hati mereka pun tak ingin
menguji sesuatu yang telah berurat-akar dalam kesadaran kolektif rakyat
Bojonegoro. Tetapi ada satu pengecualian—Soekarno, sang Putra Fajar.
Soekarno,
pemimpin besar revolusi, tokoh yang membakar semangat kemerdekaan dengan
pidato-pidatonya yang berapi-api, pernah datang ke Bojonegoro. Dalam
kunjungannya, ia berdiri tegak di alun-alun kota, dikelilingi oleh rakyat yang
haus akan kehadiran pemimpin mereka, mendengarkan dengan penuh perhatian setiap
kata yang keluar dari mulutnya. Saat itu, ia mungkin tidak menyadari bahwa
langkah kakinya di tanah Bojonegoro akan menjadi bagian dari mitos yang terus
hidup, sebuah cerita yang akan terus diceritakan dari generasi ke generasi.
Dan
benar saja, tidak lama setelah kunjungan tersebut, Soekarno menghadapi salah
satu titik balik paling dramatis dalam sejarah kepemimpinannya. Kudeta perlahan
merobek kekuasaannya, peristiwa G30S 1965 menjadi luka yang tak tersembuhkan
dalam sejarah bangsa, aksi mahasiswa mengguncang stabilitas pemerintahan, dan
akhirnya, Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) menjadi palu yang mengetuk akhir
dari era kejayaannya. Dalam waktu singkat, ia yang pernah menjadi pemimpin
paling berpengaruh di Nusantara, menemukan dirinya terpinggirkan, dijauhkan
dari panggung politik, dan pada akhirnya, hidup dalam keterasingan hingga akhir
hayatnya.
Apakah
benar kejatuhan Soekarno disebabkan oleh jejak langkahnya di Bojonegoro? Apakah
mitos tentang kota ini benar-benar memiliki kekuatan tak kasat mata yang mampu
menentukan nasib seorang pemimpin negara? Ataukah ini hanya kebetulan yang
dicocok-cocokkan oleh mereka yang ingin mempercayai bahwa ada kekuatan di luar
nalar yang bekerja dalam perjalanan sejarah bangsa?
Jika
kita melihat dari sudut pandang ilmiah dan berdasarkan kajian para sejarawan,
kejatuhan Soekarno lebih banyak disebabkan oleh dinamika politik yang kompleks,
terutama transisi kekuasaan yang dipengaruhi oleh kudeta militer serta
dikeluarkannya Supersemar yang pada akhirnya memberikan jalan bagi Soeharto
untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan. Perubahan tersebut bukanlah hasil
dari sebuah kutukan atau mitos belaka, melainkan konsekuensi dari ketegangan
politik, pergeseran kekuatan militer, serta manuver-manuver strategis yang
terjadi di balik layar. Namun, bagi masyarakat yang telah lama hidup dengan
keyakinan terhadap mitos Bojonegoro, kejatuhan Soekarno seakan menjadi bukti
nyata bahwa tanah ini memang bukan tempat yang ramah bagi para pemimpin tertinggi
negeri.
Dan
hingga kini, pertanyaan itu tetap menggantung di udara: apakah seorang presiden
berani menapakkan kaki di Bojonegoro lagi, ataukah mitos ini akan terus menjadi
pagar tak kasat mata yang membuat mereka memilih untuk menjaga jarak?
Sejarah
sering kali meminjam mitos untuk mempertegas dirinya, dan mitos pun sering kali
menjelma menjadi kenyataan hanya karena begitu banyak orang yang
mempercayainya. Jika cukup banyak orang yakin bahwa Bojonegoro membawa
kejatuhan bagi para pemimpin, maka keyakinan itu sendiri bisa menjadi kekuatan
yang bekerja di luar logika. Keengganan para presiden untuk datang ke
Bojonegoro, secara tidak langsung, justru menguatkan mitos ini dari generasi ke
generasi.
Namun,
bisa jadi mitos ini lahir bukan dari sebuah kutukan, melainkan dari kenyataan
bahwa Bojonegoro jarang mendapat perhatian langsung dari pemimpin negeri ini.
Dari sudut pandang lain, bisa jadi masyarakat menciptakan mitos ini sebagai
bentuk perlawanan simbolik terhadap pemimpin yang tak pernah benar-benar
mengurusi daerah mereka. Semakin jarang presiden datang, semakin kuat keyakinan
bahwa Bojonegoro memang bukan tempat yang aman bagi penguasa.
Hari
ini, Bojonegoro masih berdiri teguh, masih menyimpan rahasia-rahasianya, masih
menunggu siapa yang cukup berani untuk datang dan menguji kebenaran mitos yang
mengelilinginya. Apakah seorang presiden akan kembali menjejakkan kaki di sini?
Ataukah mitos ini akan terus menjadi pagar tak kasat mata yang menjaga
Bojonegoro dari langkah-langkah penguasa?
Tak
ada yang tahu pasti dari mana asal-usul keyakinan ini bermula, apakah
benar-benar berasal dari kejadian nyata atau hanya tumbuh subur dalam benak
kolektif masyarakat yang terus merawatnya dari generasi ke generasi. Yang
jelas, di antara gemuruh mesin pengeboran minyak yang tak henti-hentinya
menggerus perut bumi, di antara nyanyian angin yang berhembus menerpa hutan
jati yang telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu, Bojonegoro tetap menyimpan
misterinya. Kota ini tetap menjaga mitosnya dengan erat, seolah menjadi benteng
tak kasat mata yang memisahkan dirinya dari jejak langkah para penguasa. Entah
karena alasan logis atau sekadar kepercayaan turun-temurun, yang pasti hingga
hari ini, Bojonegoro masih menjadi tanah yang, tanpa alasan yang benar-benar
dapat dijelaskan secara rasional, terus membuat para pemimpin negeri ini
berpikir dua kali sebelum berani datang dan menginjakkan kaki di sini.
Penulis : Lilin Tiani
0 Komentar