Pelarangan Nama Jalan Pramoedya Ananta Toer dan Polemik Sejarah 1965

 

Dokumentasi Kompas

Pelarangan Nama Jalan Pramoedya Ananta Toer dan Polemik Sejarah 1965

Perayaan seabad Pramoedya Ananta Toer seharusnya menjadi ajang penghormatan terhadap sosok yang telah memberikan kontribusi besar dalam dunia sastra dan pemikiran Indonesia. Namun, perayaan ini justru menjadi kontroversi ketika Pemuda Pancasila (PP) menggugat penggunaan nama "Perayaan Pram." Mereka menolak acara ini dengan alasan bahwa Pramoedya adalah tokoh radikal kiri yang terlibat dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), sebuah organisasi kebudayaan yang memiliki afiliasi dengan PKI. Penolakan ini dinyatakan secara resmi melalui surat edaran—sebuah mekanisme yang memungkinkan PP menolak atau membatasi sebuah acara yang mereka anggap bertentangan dengan prinsip mereka.

Langkah ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk komunitas sastra, sejarawan, dan aktivis kebudayaan. Banyak yang menilai bahwa sikap Pemuda Pancasila mencerminkan sensor terhadap sejarah dan upaya melanggengkan narasi tunggal yang diwarisi dari Orde Baru. Namun, dalam sebuah perbincangan dengan wartawan Mas Rahul, diketahui bahwa sebenarnya PP tidak menolak Pramoedya secara pribadi sebagai seorang sastrawan atau tokoh asal Blora. Mereka hanya mempertimbangkan aspek politis yang masih menjadi perdebatan, terutama keterlibatan Pramoedya dalam Lekra dan peristiwa pasca-1965.

Dalam dialog lebih lanjut, ditemukan bahwa Pemuda Pancasila sebenarnya menghormati Pramoedya sebagai seorang anak Blora yang telah berkontribusi dalam dunia sastra. Namun, bagi mereka, nama Pramoedya masih memiliki beban sejarah yang berat, terutama karena dikaitkan dengan gerakan politik kiri. Oleh karena itu, mereka akhirnya mengambil keputusan kompromis: perayaan tetap diperbolehkan, tetapi tanpa menggunakan nama Pramoedya secara eksplisit dalam tema utama acara.

Keputusan ini tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Justru, media massa menangkap isu ini sebagai bentuk intervensi dan pembungkaman terhadap sejarah. Beberapa media besar turut mengangkat polemik ini, menjadikannya perdebatan nasional yang melibatkan berbagai pihak, dari akademisi hingga kelompok politik. Tidak sedikit penulis dan budayawan yang menggugat Pemuda Pancasila, mempertanyakan apakah sebuah kelompok dapat memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang layak dikenang dan siapa yang tidak.

Namun, jika kita telusuri lebih dalam, perdebatan ini bukan sekadar soal Pramoedya atau Pemuda Pancasila. Ini adalah cerminan dari konflik yang lebih luas dalam masyarakat Indonesia, yakni bagaimana kita memahami sejarah dan bagaimana narasi masa lalu masih dipolitisasi hingga hari ini.

Salah satu akar masalah dalam polemik ini adalah cara kita membaca sejarah secara parsial. Pramoedya sering kali hanya dipahami dalam konteks pasca-1965, ketika ia menjadi tahanan politik (tapol) dan kehidupannya dikontrol oleh rezim Orde Baru. Namun, jika kita membaca Pramoedya secara utuh, kita akan menemukan sosok yang jauh lebih kompleks.

 

Pramoedya adalah seorang sastrawan besar yang aktif sejak sebelum 1965. Ia adalah seorang gerilyawan yang banyak terlibat dalam perlawanan anti kolonial. Karya-karyanya tidak hanya berkutat pada ideologi politik, tetapi juga merefleksikan kehidupan sosial, ketidakadilan, dan perjuangan rakyat kecil. Novel-novelnya seperti Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, dan Jejak Langkah menggambarkan bagaimana kolonialisme menindas rakyat Indonesia dan bagaimana perlawanan intelektual menjadi alat utama dalam mencapai kemerdekaan sejati.

Di sinilah letak tantangan terbesar: bagaimana kita bisa membuka ruang untuk membaca sejarah secara lebih lengkap? Mengapa Pramoedya hanya dilihat dalam perspektif keterlibatannya dengan Lekra dan tidak sebagai seorang sastrawan yang memiliki pemikiran luas?

Sayangnya, di Indonesia, isu pasca-1965 masih menjadi luka yang belum sembuh. Rezim Orde Baru telah melegitimasi kekuasaannya dengan membentuk narasi tunggal tentang sejarah, dan hingga kini, warisan itu masih terasa. Beberapa kelompok, termasuk Pemuda Pancasila, masih melihat sejarah dari sudut pandang Orde Baru, di mana segala sesuatu yang berhubungan dengan kiri dianggap sebagai ancaman.

Dalam konteks ini, kita juga tidak bisa mengabaikan peran politik transaksional yang masih berlangsung. Ian Douglas seorang peneliti Australia dalam bukunya Politik Jatah Preman menyebut bahwa Pemuda Pancasila adalah bagian dari premanisme politik yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah. Mereka bukan sekadar organisasi masyarakat biasa, tetapi juga memiliki kepentingan dalam menjaga status quo.

Kasus ini juga menunjukkan bagaimana kelompok seperti Pemuda Pancasila masih memiliki pengaruh dalam menentukan narasi sejarah. Bahkan, Pak Rafi (aku lali bupati Blora)—yang seharusnya memiliki otoritas dalam menangani kasus ini—juga didesak oleh PP, sehingga muncul pertanyaan: apakah otoritas pemerintahan Blora harus tunduk pada kelompok yang memiliki kekuatan politik dan massa semacam ormas PP?

Ketika Pihak Pemkab Blora ditekan oleh Pemuda Pancasila, banyak yang mempertanyakan apakah budaya dan sastra bisa berdiri independen tanpa intervensi politik. Apakah dalam situasi seperti ini, komunitas sastra dan akademisi harus mengalah? Ataukah mereka justru harus lebih aktif membangun wacana alternatif yang lebih adil terhadap sejarah?

Seharusnya, yang diutamakan bukan hanya perdebatan emosional atau sikap reaksioner, melainkan dialog terbuka yang melibatkan berbagai komunitas. Pramoedya tidak bisa hanya dilihat sebagai sosok yang "bermasalah" dalam sejarah pasca-65, tetapi juga harus dibaca sebagai bagian dari sejarah sastra dan pemikiran Indonesia secara keseluruhan.

Jika wacana ini terus dikotak-kotakkan, maka kita akan terus terjebak dalam perpecahan narasi yang tidak produktif. Penting bagi kita untuk melihat sejarah secara lebih utuh, membuka ruang diskusi yang lebih luas, dan tidak terjebak dalam warisan narasi tunggal yang diciptakan oleh rezim terdahulu.

Perayaan seabad Pramoedya Ananta Toer seharusnya menjadi momentum refleksi dan rekonsiliasi sejarah, bukan justru menambah polarisasi yang ada. Diperlukan keberanian dari semua pihak untuk membuka ruang diskusi yang lebih luas, agar Pramoedya dapat dipahami tidak hanya sebagai simbol ideologi tertentu, tetapi sebagai bagian dari warisan kebudayaan Indonesia yang lebih besar.

Pemuda Pancasila, sebagai bagian dari sejarah politik Indonesia, juga harus mulai beradaptasi dengan wacana baru yang lebih terbuka. Sebagai organisasi yang memiliki kekuatan massa, mereka seharusnya tidak hanya menjadi alat politik, tetapi juga mengambil peran dalam menciptakan ruang dialog yang lebih konstruktif.

Jika kita ingin memahami sejarah dengan lebih baik, kita harus berani melihatnya secara utuh dan objektif. Sejarah tidak bisa dipisahkan dari konteksnya, dan tidak bisa terus-menerus dikendalikan oleh kepentingan politik tertentu. Saatnya kita membaca ulang Pramoedya Ananta Toer—dan sejarah Indonesia—dengan lebih jernih dan berimbang.

Posting Komentar

0 Komentar